Beritahukum.co.id – Jakarta Pusat, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan PersekutuanGereja-Gereja di Indonesia mengadakan jumpa pers di Gedung Media Center PGI Jalan Salemba No. 10 Jakarta Pusat Rabu, 11 September 2024.
Narasumber yang hadir dalam kegiatan konferensi pers antara lain :
1. Mangitua Ambarita (Tetua Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita di Sihaporas)
2. Mersi Silalahi (Perempuan Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita di Sihaporas)
3. Marta Manurung (Perempuan Adat Keturunan Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmonangan)
4. Jhontoni Tarihoran (Ketua PH AMAN Wilayah Tano Batak)
5. Syamsul Alam Agus (Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara)
6. Pdt. Henrek Lokra (Sekretaris Eksekutif Keadilan dan Perdamaian PGI) yang diwakili oleh Juwandi Gultom
Dan Moderator: Lasron P. Sinurat (PB AMAN).
Berikut siaran pers yang diberi tema “Jalan Pelik Perlindungan dan Pemenuhan Hak Masyarakat Adat: Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita di Sihaporas dan Keturunan Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmonangan, Simalungun-Sumatera Utara “selengkapnya yang disampaikan secara tertulis dan dilanjutkan dengan diskusi dengan awak media PGI Media Center.
Melihat Tano Batak dalam sudut pandang teritorial, maka kita akan melihat keindahan Danau Toba yang di kelilingi hutan-hutan terbaik, atau wangi kemenyan yang tercium dari sudut-sudut kampung. Tano Batak sejak dahulu telah tersiar sebagai penghasil getah kemenyan terbaik dan memiliki keindahan alam yang selalu meninggalkan rindu untuk kembali lagi.
Tapi, apakah Tano Batak masih seindah itu pada saat ini? Tentu, situasi ini menjadi sebuah pertanyaan mendasar terhadap publik. Di tengah megahnya citra terhadap Danau Toba dan alam Tano Batak yang di agung-agungkan, masih ada catatan pelik terhadap Masyarakat Adat di berbagai pelosok kampung yang kisah pilunya tidak terdengar atau mungkin sengaja di tutupi agar suara itu terkubur bersama cerita indah tentang Danau Toba.
Masyarakat Adat di berbagai huta atau kampung di kawasan Danau Toba sejak lama telah berhadapan dengan berbagai situasi yang sulit. Wilayah adat sebagai ruang hidup harus dipertahankan, dijaga dan diperjuangkan dari berbagai kebijakan negara yang merampas. Upaya yang dilakukan Masyarakat Adat untuk menuntut kembali hak atas wilayah adatnya selalu berhadapan dengan hal-hal yang rumit dan mahal. Dalam perjuangan mempertahankan hak tidak jarang Masyarakat Adat mengalami kekerasan dan kriminalisasi dari aparat negara.
Belum lama ini, Sorbatua Siallagan seorang tetua adat Keturunan Ompu Umbak Siallagan, yang tinggal di Dusun Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, di penjara karena mengelola tanah warisan leluhurnya. Dia di pidana 2 tahun penjara dan denda 1 Miliar dengan tuduhan menduduki kawasan Hutan Negara. Kakek berusia 65 tahun itu, harus mendekam dibalik jeruji besi karena mempertahankan tanah adatnya dari korporasi ekstraktif bernama PT. Toba Pulp Lestari, sebuah perusahaan bubur kertas yang beroperasi di Tanah Batak sejak tahun 1986 di mulai dengan nama PT. Inti Indorayon Utama (PT. IIU).
Tidak berselang lama, 22 Juli 2024, 4 orang Masyarakat Adat keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita di Sihaporas, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara yang bernama Thomson Ambarita, Jonny Ambarita, Gio Ambarita dan Parando Tamba juga menjadi korban kekerasan dari aparat kepolisian Simalungun, mereka di culik saat tidur terlelap di rumahnya pukul 03.00 wib. Saat ini mereka juga ditahan dengan tuduhan melakukan pengrusakan dan penganiayaan terhadap pekerja PT. Toba Pulp Lestari.
Akar dari persoalan ini adalah klaim sepihak dari pemerintah terhadap tanah adat dua komunitas adat ini, yang kemudian diberikan izin kepada PT. Toba Pulp Lestari tanpa adanya persetujuan dari komunitas Masyarakat Adat selaku pemilik wilayah adat. Akibatnya, akses mereka terhadap tanah menjadi hilang, juga dampak dari aktivitas perusahaan mengakibatkan kerusakan yang masif di atas wilayah adat, seperti pencemaran sumber mata air, tempat sakral untuk melakukan ritual adat dan hutan-hutan yang selama ini menjadi sumber obat-obatan telah berganti menjadi tanaman eukaliptus milik PT. TPL.
Kisah ini sebenarnya hanya sebagian kecil dari konflik yang di hadapi oleh Masyarakat Adat di Tano Batak, yang berusaha untuk mempertahankan tanah adatnya dari praktik perampasan yang di lakukan oleh perusahaan PT. TPL. Berbagai upaya terus dilakukan komunitas Masyarakat Adat, namun belum mendapat solusi atas persoalan tersebut. Mulai dari tingkat pemerintah Daerah, Provinsi sampai Kementerian dan Presiden sudah mereka jalani untuk mendapat tanggapan, namun jalan itu belum membuahkan hasil. Pengakuan dan Perlindungan terhadap Masyarakat Adat menjadi barang yang mahal. Pada sisi lain yang terjadi adalah penangkapan paksa, intimidasi dan jerat kriminalisasi menghantui Masyarakat Adat ketika berusaha mempertahankan tanah adatnya dari aktivitas perusahaan PT. TPL.
Demikian juga perempuan adat dan anak-anak tidak luput menanggung beban berat atas situasi yang terjadi. Diantaranya ada yang mengalami kekerasan dan trauma mendalam. Orang tua dan anak menjadi terpisah, karena penjara ataupun berjaga atas wilayah adat. Ada anak yang terpaksa menunda melanjutkan pendidikan karena terkendala biaya setelah orangtuanya dipenjara.
Pengakuan, perlindungan dan penghormatan atas hak-hak Masyarakat Adat oleh negara merupakan hal yang sangat mendesak untuk dilakukan. Memastikan Masyarakat Adat dapat mengelola wilayahnya dengan lestari sesuai dengan kearifan yang dimiliki. Memastikan masa depan generasi penerus dan bumi yang lebih baik.
Jakarta, 11 September 2024
Narahubung:
Hengky Manalu, AMAN – 0852-0693-0737
Lasron Sinurat, AMAN – 0822-6734-5293